Pada tanggal 4 Maret 2025, dalam pidato judi casino online kenegaraannya di hadapan Kongres Amerika Serikat, Presiden Donald Trump menyatakan bahwa “tidak ada seorang pun yang pernah mendengar tentang” Lesotho saat membahas pemotongan bantuan luar negeri sebesar delapan juta dolar untuk mempromosikan hak-hak LGBTQI+ di negara Afrika tersebut. Pernyataan ini disambut tawa oleh beberapa anggota parlemen dari Partai Republik, sementara Wakil Presiden JD Vance dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Mike Johnson tersenyum tipis di belakang Trump.
Komentar Trump tersebut memicu reaksi keras dari pemerintah Lesotho. Menteri Luar Negeri Lesotho, Lejone Mpotjoane, menyatakan bahwa pemerintahnya “terkejut dan malu” dengan pernyataan tersebut. Ia menambahkan bahwa tidak seharusnya seorang kepala negara berbicara demikian tentang negara berdaulat lain, terutama mengingat Amerika Serikat memiliki kedutaan besar di ibu kota Lesotho, Maseru, dan relawan Amerika yang bertugas dalam program Peace Corps di negara tersebut.
Selain itu, organisasi hak-hak LGBTQ utama di Lesotho, People's Matrix, membantah pernah menerima dana bantuan dari Amerika Serikat. Juru bicara organisasi tersebut, Tampose Mothopeng, menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui adanya alokasi delapan juta dolar seperti yang disebutkan oleh Trump. Ia menegaskan bahwa mereka tidak menerima dana dari AS dan tidak tahu siapa yang menerima atau akan menerima dana tersebut.
Lesotho, yang dikenal sebagai “Kerajaan di Langit”, adalah negara kecil yang seluruh wilayahnya berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut. Negara ini memiliki populasi sekitar 2,3 juta jiwa dan merupakan monarki konstitusional. Meskipun kaya akan sumber daya alam seperti berlian dan air, Lesotho tetap menjadi negara miskin dengan ekonomi yang sangat bergantung pada Afrika Selatan. Negara ini juga memiliki tingkat infeksi HIV tertinggi kedua di dunia, dengan hampir satu dari setiap empat orang dewasa positif HIV.
Sejak tahun 2006, Amerika Serikat telah berkomitmen lebih dari 630 juta dolar untuk penanggulangan HIV/AIDS di Lesotho. Namun, lebih dari 30 organisasi non-pemerintah pada pertengahan Februari memperingatkan bahwa program HIV di negara itu terancam ambruk setelah AS menghentikan pendanaan berbagai program di luar negeri.
Pernyataan Trump juga memicu reaksi dari masyarakat Lesotho. Jurnalis dan aktivis Kananelo Boloetse, misalnya, menyindir Trump melalui platform media sosial X, dengan menulis: “Pernah dengar Kerajaan di atas awan? Kayaknya belum, soalnya lagi sibuk main golf jadi nggak ngerti.” Ia menambahkan bahwa Lesotho adalah satu-satunya negara di dunia yang seluruh wilayahnya berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter, lebih tinggi dari tingkat persetujuan yang pernah didapatkan Trump. Boloetse menegaskan bahwa mereka bangga dengan negara mereka dan bukan bahan tertawaan.
Meskipun pemerintah Lesotho merasa tersinggung dengan pernyataan Trump, mereka tetap menghargai bantuan yang telah diberikan oleh Amerika Serikat selama ini. Menteri Luar Negeri Mpotjoane menekankan pentingnya hubungan diplomatik yang baik dan berharap bahwa jika Amerika Serikat memutuskan untuk menghentikan bantuan, hal itu dilakukan dengan cara yang sopan dan hormat. Ia juga mengingatkan bahwa mungkin suatu saat Amerika Serikat akan membutuhkan Lesotho, sehingga penting untuk menjaga hubungan baik antara kedua negara.
Secara keseluruhan, pernyataan Presiden Trump tentang Lesotho telah menyoroti pentingnya saling menghormati dalam hubungan diplomatik antarnegara. Meskipun Lesotho adalah negara kecil dengan berbagai tantangan, termasuk tingkat infeksi HIV yang tinggi dan ketergantungan ekonomi pada negara tetangga, negara ini memiliki identitas dan kebanggaan nasional yang kuat. Reaksi pemerintah dan masyarakat Lesotho terhadap pernyataan Trump menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam ketika kedaulatan dan martabat negara mereka dipertanyakan.
Sementara itu, situasi ini juga menjadi pengingat bagi negara-negara donor untuk lebih berhati-hati dalam menyampaikan pandangan mereka tentang negara penerima bantuan. Penting bagi negara-negara donor untuk memahami konteks lokal dan menunjukkan rasa hormat terhadap kedaulatan dan martabat negara-negara yang mereka bantu. Hal ini tidak hanya akan memperkuat hubungan diplomatik tetapi juga memastikan bahwa bantuan yang diberikan dapat diterima dan dimanfaatkan dengan baik oleh negara penerima.
Pada akhirnya, insiden ini menekankan bahwa dalam hubungan internasional, komunikasi yang bijaksana dan penuh hormat adalah kunci untuk membangun dan memelihara hubungan yang konstruktif antara negara-negara. Semoga kejadian ini dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih menghargai dan memahami satu sama lain dalam kancah global.